YIM Angkat Bicara
Yusril Ihza Mahendra; Denny Indrayana Dan Kepanikan Sebuah Rezim
Serangan
bertubi-tubi Denny Indrayana terhadap saya pasca kekalahan di PTUN
Jakarta, sesungguhnya menggambarkan kepanikan sebuah rezim yang sedang
berkuasa. Sejak awal memerintah, SBY telah bertekad untuk memberantas
korupsi dan berjanji akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi. Namun
langkah yang ditempuh SBY bukannya menyiapkan konsepsi dan langkah besar
secara sistematis dalam memerangi korupsi, melainkan membentuk tim-tim
ad hoc, mulai dari Timtas Tipikor sampai Satgas Pemberantasan Anti Mafia
Hukum.
Hasilnya, boleh dikatakan nihil. Korupsi bukannya berhasil diberantas, malah makin melebar dan meluas, secara struktural dan sistemik. Kekuasaan rezim dibangun dengan dukungan finasial yang luar biasa untuk meraih kemenangan dalam Pemilu. Tokoh-tokoh partai yang penguasapun, bukannya menjadi pelopor pemberantasan korupsi, malah mulai terlibat mempraktikkannya. Kalau rezim dibangun dengan dukungan uang yang besar, dan pimpinan partai penguasa juga dipilih dengan uang yang berbicara, maka apa lagi yang diharapkan dari rezim dan partai demikian untuk memberantas korupsi di negeri ini.
Hasilnya, boleh dikatakan nihil. Korupsi bukannya berhasil diberantas, malah makin melebar dan meluas, secara struktural dan sistemik. Kekuasaan rezim dibangun dengan dukungan finasial yang luar biasa untuk meraih kemenangan dalam Pemilu. Tokoh-tokoh partai yang penguasapun, bukannya menjadi pelopor pemberantasan korupsi, malah mulai terlibat mempraktikkannya. Kalau rezim dibangun dengan dukungan uang yang besar, dan pimpinan partai penguasa juga dipilih dengan uang yang berbicara, maka apa lagi yang diharapkan dari rezim dan partai demikian untuk memberantas korupsi di negeri ini.
Pemberantasan korupsi memerlukan
pendekatan menyeluruh. Aturan hukum harus diperbaiki dan sistem harus
diperkuat. Adalah sia-sia berteriak ingin memberantas korupsi, sementara
norma hukum tidak diperbaiki, dan sistem bernegara yang dibangun malah
mendorong dan membuka peluang lebar-lebar untuk korupsi. Sisi lain
pemberantasan korupsi yang tidak boleh diabaikan adalah keteladanan sang
pemimpin. Hukum harus ditegakkan terhadap siapapun, terutama terhadap
diri sendiri. Namun rezim ini mengulang kembali praktik rezim lama.
Ketika korupsi diduga melibatkan orang-orang yang berada di puncak
kekuasaan dan partai yang berkuasa, langkah pemberantasan korupsi seakan
menjadi mandul. Rakyat takkan pernah percaya iktikad baik rezim untuk
memberantas korupsi selama mega skandal korupsi seperti kasus Bank
Century tak pernah tersentuh oleh hukum.
Di tengah kepanikan tudingan kegagalan
memberantas korupsi, rezim berupaya untuk membangun citra bahwa dirinya
bersih. Dalam konteks pembangunan citra itu, cara-cara ad hoc dan
parsial kembali ditempuh, termasuk “moratorium” dan “pengetatan
pemberian remisi” yang disebut-sebut akan mampu menimbulkan “efek jera”
bagi koruptor. Langkah parsial seperti itupun tidak dilakukan dengan
persiapan yang matang dan konsepsional: konstitusi diabaikan dan
undang-undang ditabrak melalui “kebijakan” yang terkesan seadanya dan
seenaknya melalui Staf Khusus Presiden yang belakangan diangkat menjadi
Wamenkumham, Professor Denny Indrayana. Ketika langkah dikritik, rezim
bukannya introspeksi malah menyerang balik menuduh kelompok kritis
sebagai pro-koruptor, pembela kruptor dan bahkan memimpin “corruptor
fight back”. Padahal, yang dilakukan pengkritik esensinya bukanlah
membela korupsi, sebaliknya malah menelanjangi rezim yang telah gagal
memerangi korupsi. Bahkan, rezim sendiri diduga kuat terlibat dalam
praktik-praktik korupsi yang ingin mereka perangi.
Essensi kegagalan penanganan korupsi
kemudian dibelokkan menjadi serangan bersifat propaganda bermata dua: di
satu sisi ingin menutupi kegagalan dan menunjukkan kepada rakyat bahwa
mereka adalah kampiun anti korupsi, dan disisi lain memonjokkan lawan
dengan dengan menuduhnya untuk membangun stigma sebagai pro dan bahkan
pembela korupsi. Rezim yang mencoba bertahan dengan menggunakan
propaganda politik ala Hitler dan Jozeph Goebbels, dalam sejarah tak
pernah berhasil untuk bertahan. Karena mereka adalah penipu yang
sebenarnya yang menggunakan kedok-kedok kekuasaan yang berlapis-lapis
membela diri dari kegagalan. Namun suatu ketika, kedok-kedok akan
terbuka, yang akhirnya akan mempermalukan mereka di hadapan rakyatnya
sendiri…
No comments
Post a Comment